KOTA MALANG - Jurusan Sosiologi Universitas Brawijaya mengupas tuntas masalah ketidakadilan di Papua dan HIV di Aceh pada agenda stadium general dengan tema Compreheding Aceh dan Papua: Silencing Identity, Marginalization and Agency, Rabu (2/3/2022).
Dua pemateri dihadirkan dalam agenda ini. Pertama, Dr. Vidhyandika Djati Perkasa, M. Sc yang merupakan peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Pembicara kedua adalah Dr Annemarie Samuels, MA yang merupakan Associate Profesor di Leiden University.
Dalam paparan materinya, Dr Vidhyandika mengungkapkan isu terkait dengan Papua tidak hanya pada awal terintegrasinya Papua dengan Indonesia.
“Ketidakadilan ekonomi, marjinalisasi dan eksploitasi sumber daya terjadi setelah Papua bergabung dengan Indonesia. Masyarakat di daerah Papua sangat jauh dari kata sejahtera, ” ucapnya.
Vidhyandika membeberkan Papua dikenal sebagai provinsi dengan kekayaan Sumber Daya Alam yang melimpah. Namun berbanding terbaik dengan hal itu, Papua menempati posisi tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia.
“Indeks Pembangunan Manusia juga merupakan yang terendah di Indonesia, ” sambungnya.
Baca juga:
TNI AL Tangkap 8 Kapal Pencuri Batu Bara
|
Salah satu slide materi yang disampaikan oleh Dr. Vidhyandika Djati Perkasa, M. Sc tentang Papua. (Foto: Humas FISIP).
Berbicara terkait dengan pembangunan, kata Vidhyandika di Papua sendiri pembangunan dalam bidang infrastruktur maupun sumber daya manusia masih sangat jauh dari harapan.
“Bahkan adanya pelanggaran HAM juga cenderung diabaikan dan tidak ada rasa keadilan bagi orang Papua itu sendiri, ” paparnya.
Namun, melalui media sosial menurut Vidhyandika orang Papua berusaha memperkuat identitas mereka dengan cara meningkatkan kesadaran etnis yang khas dari yang awalnya tidak berdaya menjadi kuat.
“Facebook merupakan salah satu platform media sosial yang memfasilitasi kesadaran etnis Papua. Disana mereka menciptakan suatu gagasan keaslian etnis untuk mendefinisikan kembali identitas etnis mereka, menentang stereotip negatif yang melekat pada mereka dan memberdayakan diri mereka sendiri, ” tuturnya.
Vidhyandika memaparkan di Facebook mereka bisa merasa bangga menjadi orang kulit hitam Indonesia. Selain itu, di facebook juga total interaksi akan cenderung meningkat saat adanya kekerasan lokal yang dilakukan oleh aparat keamanan. “Hal ini tentunya akan membuat orang Papua itu sendiri merasa kuat, tanpa adanya kontrol dari pemerintah, ” paparnya.
HIV di Aceh
Dr Annemarie Samuels, MA Associate Profesor di Leiden University menyatakan secara historis sejak tahun 2004 tepatnya sebelum terjadi Tsunami di Aceh, pengidap HIV kerap mendapatkan stigma yang buruk dari masyarakat diikuti kuatnya interpretasi religi masyarakat terhadap penyakit serta keterbatasan dalam memperoleh penanganan sehingga kondisi ini semakin mempersulit penanganan HIV di Aceh.
“Stigma yang tinggi pada masyarakat yang menganggap bahwa HIV merupakan sebuah adzab dibanding penyakit membuat masyarakat kerap mencurigai para pengidap alih-alih memberikan dukungan yang sangat dibutuhkan, ” ucapnya.
Hal inilah kata Annemarie mempersulit para pengidap yang sejatinya sudah mulai sadar akan HIV mengurungkan niatnya untuk melakukan pemeriksaan karena takut mendapat perundungan dari lingkungan sekitar khususnya tetangga.
“Alhasil mereka memilih untuk diam atau melakukan pengobatan sambil berusaha menutupi identitasnya. Interpretasi religi juga memberikan pengaruh besar dimana tak jarang mereka yang sadar mengidap HIV justru memilih untuk tidak mendapatkan penanganan dan menginterpretasikan bahwa penyakit tersebut merupakan sebuah cobaan untuk membentuknya menjadi pemeluk agama yang lebih baik, ” sambungnya.
Dr. Annemarie Samuels, MA saat menyampaikan materi tentang HIV di Aceh. (Foto: Humas FISIP).
Annemarie Samuels menjelaskan terdapat solusi yang dapat dilakukan yaitu dengan menerapkan predicaments of visibility, silence, and agency untuk dapat memperbaiki keadaan.
“Pemberlakuan kampanye ‘jauhi penyakitnya bukan orangnya’ merupakan sebuah bentuk sosialisasi yang bisa sangat berdampak bagi penanganan HIV di Aceh, ” tuturnya.
Penyuluhan tentang apa yang bisa diceritakan dan bisa disuarakan bagi masyarakat kata Annemarie Samuels juga dapat berpengaruh untuk menurunkan stigma dan disinformasi yang ada.
“Proses-proses tersebut sangat dibutuhkan disamping pengadaan fasilitas karena dapat menjadi sesuatu yang sangat membantu bagi mereka, ” pungkasnya. (Humas FISIP)